Wednesday, November 17, 2010

Cinta dan Nilai Kemanusiaan Suku Dayak

Mengungkap berbagai potensi dan ajaran kemanusiaan yang terpendam dalam raga dan keyakinan suku Dayak ini, maka selayaknya suku Dayak ini mendapatkan hak dan martabatnya untuk hidup sejajar dengan suku-suku lainnya di Indonesia, yang hidup bebas dan dihargai. Janganlah kita menebar cerita “stereotype” terhadap suku dan budaya Dayak yang selama ini dipandang rendah, hina, dibodoh-bodohkan dan dianggap sebagai “suku terasing” atau “primitif”



Indonesia dianugerahi beribu suku dan budaya yang satu sama lain berbeda dan mempopulerkan budaya dan gaya hidup yang berlainan pula. Keindahan Indonesia ini sebenarnya sebuah modal utama menjadikannya sebagai negara majemuk dan heterogen, yang kesemuanya tumbuh alamiah tanpa adanya campur tangan siapapun.

Teori sejarah asal usul Suku Dayak adalah teori imigrasi bangsa China dari Provinsi Yunnan di Cina Selatan. Kira-kira pada 3000-1500 SM, Penduduk Yunan berimigrasi besar-besaran (dalam kelompok kecil). Sebagian dari mereka masuk ke wilayah Tumasik dan semenanjung Melayu, sebelum ke wilayah Indonesia. Sebagian lainnya melewati Hainan, Taiwan dan Filipina.

Suku Dayak merupakan suku asli pribumi Kalimantan. Mereka hidup terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.

Dari penampilan yang seram ini, menyimpan kelembutan dan kemanusiaan yang luhur

Dari penampilan yang seram ini, menyimpan kelembutan dan kemanusiaan yang luhur

Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Amas dan Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).

Arus migrasi yang kuat dari para pendatang, Suku Dayak semakin terdesak dan akhirnya memilih masuk ke pedalaman hutan. Ini menimbulkan Suku Dayak menjadi menyebar dan membentuk koloni-koloni kecil berupa sub-sub etnis tersendiri.

Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub etnis. Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka. Etnis Dayak Kalimantan terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil, yang menyebar di seluruh Kalimantan.

Suku Dayak sudah memiliki budaya luhur dan peradaban yang ditinggal leluhurnya. Suku ini bahkan cenderung menghormati keluhuran budi manusia. Beberapa ciri spiritual khas Suku Dayak:

1. Memegang teguh kehormatan leluhur,

2. Setia kawan,

3. Jujur

4. Tenggang rasa

5. Membela harkat dan martabat kemanusiaan serta alam sekitarnya dengan cara diam dan simbolik.

Kemewahan duniawi bagi suku Dayak bukanlah sebuah kebanggaan yang pantas diunggul-unggulkan. Sebab itu, banyak sekali penderitaan dan ketertindasan yang dialami oleh suku Dayak sepanjang sejarahnya akibat dari kedatangan imigran asing, hanya sedikit saja yang diterima dengan dendam dan pembalasan. Dan sampai semua ke-diam-an itu dianggap salah oleh orang dari suku lain, dan dinggapnya sebagai bentuk ketakutan dan kehinaan diri, bukan bentuk sikap “mengalah” dan “kesabaran” suku Dayak, maka Dayak menunjukka kekuatannya pada sekitar tahun 2001 ketika terjadi tragdei kemanusiaan Sampit.

Suku Dayak memiiki etos yang disebut mesu Mudi, — dari Serat Wedatama. Yaitu bermakna mengandalkan kekuatan batin dan tidak bertumpu pada kemegahan dunia. Bahwa “Nilai semua manusia tidak pernah dilihat dari harta yang dia miliki, tetapi dari apa yang telah dia perbuat untuk manusia dan alam sekitarnya”

Mengungkap berbagai potensi dan ajaran kemanusiaan yang terpendam dalam raga dan keyakinan suku Dayak ini, maka selayaknya suku Dayak ini mendapatkan hak dan martabatnya untuk hidup sejajar dengan suku-suku lainnya di Indonesia, yang hidup bebas dan dihargai. Janganlah kita menebar cerita “stereotype” terhadap suku dan budaya Dayak yang selama ini dipandang rendah, hina, dibodoh-bodohkan dan dianggap sebagai “suku terasing” atau “primitif.”

Suku Dayak menyimpan kelembutan dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, tetapi Suku Dayak juga memendam kekuatan. Mengusik suku Dayak ini sama artinya kita membangunkan singa buas yang siap menerkam siapa saja.

Kemudian, sebagai bagian dari saudara-saudara se-Indonesia, kita selayaknya menempatkan suku Dayak sebagai manusia penuh cinta kasih dan penghormatan nilai dan ruh kemanusiaan, yang bisa berdamai dan berdampingan dengan siapapun. Suku Dayak berhak hidup damai dan menguasai tanah kelahirannya sendiri, membumikan jati dirinya sebagai pemilik tanah airnya, yang bebas dari “penjajah asing”.
sumber: http://sosbud.kompasiana.com/2010/09/17/mengungkap-ajaran-cinta-dan-nilai-kemanusiaan-suku-dayak/

No comments: